Oleh : Agus Salim
Sebagai seorang insan, kita sering disibukkan oleh begitu banyak urusan (pekerjaan) yang membuat kita tak sadar telah kehilangan derajat dan kualitas kemanusiaan.
Saking sibuknya, kita terkadang lupa sarapan pada hal sarapan itu penting buat kesehatan.
Saking sibuknya, kita sampai lupa berzikir pagi, padahal zikir pagi itu sungguh berarti bagi yang mengerti.
Saking sibuknya, kita sampai lupa menyapa tetangga padahal tetangga itu begitu berharga, ya enggak?, kalau gak percaya silakan tanya Pak Angga.
Saking sibuknya, kita sampai lupa mensyukuri karunia Ilahi: mentari pagi yang sinarnya hangat menyapa.
Saking sibuknya, hingga kita tak sempat mengantar dan mendoakan anak-anak kita berangkat ke sekolah, padahal mengantar dan mendoakan anak-anak berangkat ke sekolah adalah peristiwa yang sangat berharga bagi anak-anak kita (asal nganternya gak pake marah-marah muka ditekuk seperti burung celepuk, atau buru buru kaya sopir angkot dikejar setoran dan polisi).
Saking sibuknya, hingga kita lupa pamit sama istri atau suami, memeluk, mencium kening dan tangannya sambil berkata :
” Ayah pamit, cinta, (istri tercinta maksudnya) doakan ayah selamat dijalan, nyaman dikantor dan pulang gak molor”
Lalu sang istri menjawab:
” Iya Rangga, ups..! (Ayah maksudnya) hati-hati di jalan, jaga pandangan, jangan lihat orang dari penampilan, apalagi lihat penampilan perempuan, ayah kerja yang benar dikantor, pulang jangan cuma bawa pakaian kotor, ingat pesanan bunda, mampir di gang kelor beli martabak telor”.
Seringkah kita saling berwasiat dan berpesan seperti itu? rasanya jarang ya?.
Garing dan kering sekali sepertinya hidup kita ini, pergi pagi, pulang malam, bahkan ada yang baru pulang pagi keesokan hari.
Mungkin ada sebagian dari kita yang saat berangkat kerja, anak dan istrinya masih tidur, dan ketika pulang, anak-anak dan istri sudah tidur lagi. Saat tiba dirumah, minta dibukakan pintu, sudah ketok pintu berapa kali tidak dibukakan pintu juga, sekalinya buka pintu, istri ngomel :
“Jangan pulang sekalian”
“Tapi Ayah bawa martabak telor sayang”, rayu suami.
Sang istri menjawab ketus :
“Martabak telor boleh masuk kamar, ayah tetap diluar”. Sadiiiis….(istri rasa sedap dan pedas level 8 keripik maichi)
Atau mungkin diantara kita ada yang tergabung dalam komunitas bang Thoyyib (Komunitas suami jarang pulang).
Sekalinya pulang tidak dikenali anak, karena lupa cukur rambut, kumis dan cambang,
“Om cari siapa”, kata sikecil”.
“Nasib-nasib, pergi masih gelap, pulang sudah gelap, masa depan tetap gelap, au ah gelap”, keluh salah seorang suami.
“Tenang bang, yang penting di akherat pastikan gak gelap”, nasihat salah seorang teman.
Supaya gak gelap di akherat, coba deh bang, bing dan bung, jangan cuma bergerak seperti ombak (kerja siang malam) lupa ibadah. Cobalah merenung seperti gunung.
Lihat gunung bung, ia berdiri kokoh, seolah tak bergerak, tapi sesungguhnya ia bergerak, berzikir dan bertasbih kepada Ilahi.
Pastikan dalam merenung kita tetap bergerak memberi manfaat dan dalam keadaan bergerak kita merenung: memikirkan hakikat kehidupan yang fana ini.
Mari kita merenung dengan mencoba menjawab pertanyaan pertanyaan berikut ini:
1. Dari mana kita berasal dan akan kemana kita kembali?.
2. Apa sesungguhnya yang kita cari dalam hidup ini?.
3. Coba tanyakan pada diri, apa yang paling kita sesali dalam hidup ini dan tidak boleh terulang kembali?.
4. Apa yang paling kita syukuri dalam hidup ini?, dan dengan cara seperti apa kita mensyukurinya?.
5. Apa yang sudah kita persiapkan untuk menghadapi kematian?.
6. Amal unggulan atau bekal apa yang sudah, sedang dan akan kita lakukan dan persiapkan untuk menghadap Allah SWT?.
“Berbekallah, karena sesungguhnya sebaik- baik bekal adalah taqwa”
(QS: Al-Baqarah :197)
“Perbaharuilah kapal imanmu, karena gelombang lautan kehidupan teramat dalam, dan persiapkanlah bekal yang cukup, karena perjalanan menuju kehidupan abadi (akherat) itu jauh sekali”. (Imam Al-Ghozali).