Oleh: Yokha Latief, M.Pd
Mekkah kala itu sebagai pusat perdagangan dan agama di jantung semenanjung Arab. Muhammad tumbuh di tengah-tengah kota yang dikendalikan supremasi politiknya oleh Suku Quraisy; satu suku terdiri dari beberapa klan. Ini tidak lantas membuat Muhammad memiiki akses atau kedudukan istimewa di tengah-tengah para tetua suku. Ia lahir dari klan Bani Hasyim, satu klan rendah di antara klan-klan yang lain dalam Suku Quraisy.
Terletak pada sekitar 80 kilometer dari Laut Merah, kota ini mendapat keuntungan perdagangan dari utara ke selatan dan juga sebaliknya—menghubungkan Yaman di Selatan dan Romawi di utara. Padang pasir yang mengelilinginya terbebas dari pengaruh atau kendali asing di sekitarnya. Selain menjadi tempat interaksi perdagangan, Mekkah menjadi satu-satunya kota tujuan haji bangsa-bangsa Arab. Pada saat yang bersamaan ia terhubung dan terisolasi secara internasional.
Demikian, meski ia terisolasi dari dua peradaban besar Romawi dan Persia, Mekkah sudah cukup menjadi alasan yang kuat sebagai katalisator perkembangan perekonomian dan politik di semenanjung Arab. Bertahun-tahun setelahnya, kota ini menjadi kota yang tidak saja menjadi perlintasan dua peradaban—melainkan menjadi pusat lahirnya sebuah peradaban baru; peradaban yang bersimpul pada monoteisme Ibrahim.
Gagasan-gagasan turunan dari monoteisme Ibrahim yang dibawa Muhammad menjadi ancaman tersendiri bagi Suku Quraisy—pemegang kendali dan status quo di Mekkah. Ajaran baru itu berdiri menggugat politeisme lama yang telah berkembang dan dianut di sekitar ka’bah, ia juga menggugat otoritas politik ekonomi yang telah mapan.
Bagaimana tidak, sekali dalam setahun orang-orang di semenanjung Arab berbondong-bondong untuk pergi berziarah ke ka’bah dengan ritual-ritual pemujaan terhadap 360 berhala di sekelilingnya. Ini adalah bisnis yang menggiurkan bagi kaum kapitalis Mekkah.
Di sana, siklus perdagangan yang alami terjadi. Suku Quraisy sebagai fasilitator, pemegang otoritas, dan status quo, mendapat keuntungan besar dari siklus yang teratur ini. Namun, monoteisme yang muncul embrionya dalam diri Muhammad adalah momok. Konsep keesaan Tuhan yang dibawanya menolak berhala. Menukik dan tajam di jantung politeisme Arab.
Secara langsung, ketiadaan berhala berarti ketiadaan ziarah. Ketiadaan ziarah artinya ketiadaan bisnis. Ini mengapa monoteisme yang dibawa Muhammad sebisa mungkin tidak boleh diperkenalkan di kalangan pemimpin suku di Mekkah. Sebab, penerimaan terhadapnya berarti satu langkah membuka pintu pada penerimaan terhadap pergeseran otoritas. Pergeseran otoritas artinya sebuah ritual penutupan pundi-pundi keuntungan kapital para pemain lama.
Penerimaan terhadap monoteisme Muhammad adalah satu jalan menuju penggeseran otoritas dari pemegangnya yang lama kepada pemegang otoritas yang baru. Pertarungan kekuasaan (baca: wacana) di sini baru saja dimulai. Telah dan sedang berlangsung pertempuran di atas tanah Mekkah; kuasa pengetahuan yang dimapankan oleh Suku Quraisy melawan penantangnya yang baru: monoteisme Muhammad.
Wallahualam